
Sportivitas dan Superioritas CATATAN - Kok Takut Lawan PBFC?
Beberapa hari terakhir, sepak bola Indonesia dikagetkan dengan berita tentang sepak bola gajah. Sepak bola yang penuh drama, namun memalukan karena jauh dari semangat sportivitas.
Ya, seperti diketahui, laga penentuan juara Grup 1 Divisi Utama Liga Indonesia, antara PSS Sleman dan PSSI Semarang berkesudahan 3-2 untuk kemenangan PSS. Namun, pilunya semua gol dibuat dengan cara bunuh diri.
Kenapa sepak bola gajah harus dilakukan kedua tim? Banyak yang menyebut kedua tim takut bertemu klub asal Samarinda, Pusamania Borneo FC (PBFC) sebagai runner-up Grup 2. Tim yang dilawan oleh juara Grup 1 di semifinal.
Namun alasan itu langsung dibantah kedua tim. Tapi, tudingan miring masih tetap saja dialamatkan pada PBFC. Bahkan tudingan keji menyebut bahwa klub yang bermarkas di Stadion Segiri ini mendapat garansi lolos ke Indonesia Super League (ISL) musim depan. Sungguh, itu sebuah tudingan yang sangat tidak berasalan.
Bukankah kompetisi digelar untuk menjaring siapa yang terbaik diatas lapangan? Jika memang ada pesan-pesanan seperti itu, lantas untuk apa digelar kompetisi?
Penilaian lain yang menyebutkan PBFC kuat dalam hal nonteknsi karena sering dibantu wasit juga seakan subjektif. Toh, itu bukan tanggung jawab PBFC karena sudah ada Komisi Wasit yang memiliki kewenangan menentukan siapa pengadil memimpin pertandingan, kenapa masih diberi amanat oleh pengelola kompetisi? Bahkan, 11 gol penalti PBFC pun ikut disoal, lantas untuk apa ada penalti di sepak bola?
Terlepas dari hal itu, mari meruut ke belakang soal kekuatan PBFC di atas lapangan. Klub yang banyak dituding paling dihindari tim-tim Divisi Utama ini sudah mengantongi 15 kali kemenangan, dimana 12 di antaranya diraih di Stadion Segiri Samarinda, dan 3 kemenangan lagi terjadi di kandang lawan. DItambah 4 kali hasil seri di kandang lawan serta sisanya dilalui dengan kekalahan (6 kali) uang seluruhnya di kandang musuh.
Statistik ini memperkuat bahwa PBFC memiliki rekor sempurna di kandang sendiri tanpa sekalipun kehilangan poin, serta catatan fantastis meraup 13 poin di luar kandang.
Soal produktivitas mencetak gol, PBFC juga memiliki catatan luar biasa. Sepanjang musim ini, anak asuhan Iwan Setiawan itu telah mengemas 50 gol dan hanya kebobolan 22 gol, dimana 7 gol bersarang pada babak 8 besar. Artinya fase penyisihan grup dan babak 16 besar, gawang Pesut Etam hanya kebobolan 15 gol dari 20 pertandingan.
Isu yang menyebutkan bahwa PBFC kuat dalam hal faktor nonteknis juga terbantahkan dengan beberapa kejadian yang dialami klub bentukan suporter Pusamania dan tokoh muda Samarinda bernama H Nabil Husein Said Amin itu.
Seperti diberitakan Kaltim Post pada Agustus lalu, PBFC dua kali dikerjai wasit. Kala itu dua penalto pada menit 90-an ke atas, atau saat injury time harus diterima Pesut Etam saat bertandang ke Martapura (Kalah 1-2 dari Martapura FC) dan Palangkarya (Imbang 1-1 vs Kalteng Putra).
Padahal pada kedua laga itu, PBFC selalu unggul lebih dahulu. Selain itu, selama musim ini, PBFC sudah 3 kali menerima hukuman dari Komisi Disiplin PSSI. Jika benar di-seeting mafia, masa iya tim mafia dihukum mafia? Bukannya sebuah kepentingan harus dilindungi, bukan untuk disakiti?
Disorotnya skuad Pesut Etam juga tak lepas dari sikap manajemen PT Nahusam Pratama Indonesia, selaku badan hukum PBFC, yang gencar membangun kekuatan klub dengan profesional dengan modal investasi besar. Bahkan terkesan sangat mewah.
Padahal secaram umum, di sisi lain klub-klub sepak bola Indonesia, terutama Divisi Utama, masih keteteran untuk menghidupi diri. Dan tentu masih jauh dari kata mendekati gaya sepak bola yang dikembangkan PBFC.
Bisa jadi, pemikiran sebagian penikmati sepak bola Indonesia yang belum siap akan hal ini, seketika dengan mudah diartikan dengan pandangan negatif pada PBFC. Suap wasit, pengaturan skor, beli dan jual pertandingan pun dengan mudah diembuskan.
Kondisi ini semakin bertambah parah, mengingat sepakbola Indonesia baru saja sembuh dari dualisme, bahkan barisan sakit hati yang tersisih dari lingkup federasi olahraga terpopuler ini mencoba memanaskan situasi demi kepentingan kelompok tertentu. Jika kondisi ini terus dipelihara, berat rasanya bola berlari mengejar prestasi.
Ya, seperti diketahui, laga penentuan juara Grup 1 Divisi Utama Liga Indonesia, antara PSS Sleman dan PSSI Semarang berkesudahan 3-2 untuk kemenangan PSS. Namun, pilunya semua gol dibuat dengan cara bunuh diri.
Kenapa sepak bola gajah harus dilakukan kedua tim? Banyak yang menyebut kedua tim takut bertemu klub asal Samarinda, Pusamania Borneo FC (PBFC) sebagai runner-up Grup 2. Tim yang dilawan oleh juara Grup 1 di semifinal.
Namun alasan itu langsung dibantah kedua tim. Tapi, tudingan miring masih tetap saja dialamatkan pada PBFC. Bahkan tudingan keji menyebut bahwa klub yang bermarkas di Stadion Segiri ini mendapat garansi lolos ke Indonesia Super League (ISL) musim depan. Sungguh, itu sebuah tudingan yang sangat tidak berasalan.
Bukankah kompetisi digelar untuk menjaring siapa yang terbaik diatas lapangan? Jika memang ada pesan-pesanan seperti itu, lantas untuk apa digelar kompetisi?
Penilaian lain yang menyebutkan PBFC kuat dalam hal nonteknsi karena sering dibantu wasit juga seakan subjektif. Toh, itu bukan tanggung jawab PBFC karena sudah ada Komisi Wasit yang memiliki kewenangan menentukan siapa pengadil memimpin pertandingan, kenapa masih diberi amanat oleh pengelola kompetisi? Bahkan, 11 gol penalti PBFC pun ikut disoal, lantas untuk apa ada penalti di sepak bola?
Terlepas dari hal itu, mari meruut ke belakang soal kekuatan PBFC di atas lapangan. Klub yang banyak dituding paling dihindari tim-tim Divisi Utama ini sudah mengantongi 15 kali kemenangan, dimana 12 di antaranya diraih di Stadion Segiri Samarinda, dan 3 kemenangan lagi terjadi di kandang lawan. DItambah 4 kali hasil seri di kandang lawan serta sisanya dilalui dengan kekalahan (6 kali) uang seluruhnya di kandang musuh.
Statistik ini memperkuat bahwa PBFC memiliki rekor sempurna di kandang sendiri tanpa sekalipun kehilangan poin, serta catatan fantastis meraup 13 poin di luar kandang.
Soal produktivitas mencetak gol, PBFC juga memiliki catatan luar biasa. Sepanjang musim ini, anak asuhan Iwan Setiawan itu telah mengemas 50 gol dan hanya kebobolan 22 gol, dimana 7 gol bersarang pada babak 8 besar. Artinya fase penyisihan grup dan babak 16 besar, gawang Pesut Etam hanya kebobolan 15 gol dari 20 pertandingan.
Isu yang menyebutkan bahwa PBFC kuat dalam hal faktor nonteknis juga terbantahkan dengan beberapa kejadian yang dialami klub bentukan suporter Pusamania dan tokoh muda Samarinda bernama H Nabil Husein Said Amin itu.
Seperti diberitakan Kaltim Post pada Agustus lalu, PBFC dua kali dikerjai wasit. Kala itu dua penalto pada menit 90-an ke atas, atau saat injury time harus diterima Pesut Etam saat bertandang ke Martapura (Kalah 1-2 dari Martapura FC) dan Palangkarya (Imbang 1-1 vs Kalteng Putra).
Padahal pada kedua laga itu, PBFC selalu unggul lebih dahulu. Selain itu, selama musim ini, PBFC sudah 3 kali menerima hukuman dari Komisi Disiplin PSSI. Jika benar di-seeting mafia, masa iya tim mafia dihukum mafia? Bukannya sebuah kepentingan harus dilindungi, bukan untuk disakiti?
Disorotnya skuad Pesut Etam juga tak lepas dari sikap manajemen PT Nahusam Pratama Indonesia, selaku badan hukum PBFC, yang gencar membangun kekuatan klub dengan profesional dengan modal investasi besar. Bahkan terkesan sangat mewah.
Padahal secaram umum, di sisi lain klub-klub sepak bola Indonesia, terutama Divisi Utama, masih keteteran untuk menghidupi diri. Dan tentu masih jauh dari kata mendekati gaya sepak bola yang dikembangkan PBFC.
Bisa jadi, pemikiran sebagian penikmati sepak bola Indonesia yang belum siap akan hal ini, seketika dengan mudah diartikan dengan pandangan negatif pada PBFC. Suap wasit, pengaturan skor, beli dan jual pertandingan pun dengan mudah diembuskan.
Kondisi ini semakin bertambah parah, mengingat sepakbola Indonesia baru saja sembuh dari dualisme, bahkan barisan sakit hati yang tersisih dari lingkup federasi olahraga terpopuler ini mencoba memanaskan situasi demi kepentingan kelompok tertentu. Jika kondisi ini terus dipelihara, berat rasanya bola berlari mengejar prestasi.